Minggu, 24 Januari 2010

Sekolah Sepak Bola Indiana Alwasilah

Visi

Misi

Program

Sejarah Singkat

Kegiatan-Kegiatan


Piala Dunia Sepak bola atau sering disingkat sebagai Piala Dunia saja (nama resmi: Piala Dunia FIFA) adalah kompetisi terpenting dalam dunia sepak bola internasional. Diselenggarakan oleh Fédération Internationale de Football Association (Fédération Internationale de Football Association), pengatur cabang olahraga ini, turnamen babak final Piala Dunia adalah ajang olahraga yang paling banyak ditonton di dunia, melebihi bahkan Olimpiade.[1]

Babak final turnamen (merujuk kepada bagian turnamen setelah kualifikasi) ini diselenggarakan setiap empat tahun sekali namun kejuaraan ini mengambil masa dua tahun secara keseluruhan. Lebih dari 160 tim nasional bertarung dalam turnamen kualifikasi regional untuk meraih tempat dalam babak final. Turnamen finalnya kini melibatkan 32 tim (peningkatan dari 24 tim pada tahun 1998) yang berkompetisi selama 4 minggu di negara yang ditunjuk sebagai tuan rumah. Inovasi yang dilakukan baru-baru ini memperbolehkan lebih dari satu negara menjadi tuan rumah.

Penyelenggaraan Piala Dunia berikutnya akan berlangsung di Afrika Selatan pada tahun 2010.

Daftar isi

Kelemahan Olahraga Kita

Oleh Agus Mahendra

OLIMPIADE telah membuka babak kesadaran baru, bahwa untuk selanjutnya kita tidak perlu terlalu tergantung dari bulu tangkis saja. Angkat besi secara mengejutkan mampu menyumbangkan medali. Pertanyaannya, benarkah Indonesia boleh berharap banyak dari cabang-cabang lainnya untuk olimpiade selanjutnya?

Kita bisa mengelompokkan potensi cabang dari kompleksitas teknis serta persyaratan mekanika yang terlibat di dalamnya. Ada cabang yang persyaratan teknik dan mekanikanya rendah, seperti angkat besi, panahan, atau beberapa nomor atletik seperti lari jarak menengah hingga jarak jauh. Ada pula cabang yang menuntut persyaratan teknik dan mekanika yang sangat kompleks, seperti senam, tenis, tenis meja, beberapa nomor atletik, dan banyak lagi.

Untuk cabang-cabang yang masuk dalam kelompok pertama, Indonesia memiliki peluang besar karena tidak memerlukan penguasaan teknik yang memakan waktu lama, dan tidak terlalu banyak membutuhkan campur tangan pelatih untuk menganalisis tekniknya. Kondisi yang harus dipenuhi, kita tidak boleh kalah dalam hal kekerapan, kekerasan, dan kebermaknaan latihan-bahkan kalau perlu dalam hal kedinian latihan. Konkretnya, mulailah latihan di cabang-cabang ini sedini mungkin, dengan dosis, intensitas, frekuensi, serta densitas latihan yang paling tinggi takarannya sehingga tidak kalah dari negara lain.

Contohnya, prestasi para pelari Kenya dan Ethiopia di jarak menengah dan jauh. Penelitian yang dilakukan para pakar dari Korsel terhadap keunggulan fenomenal para pelari kedua negara tersebut menunjukkan, rumus keberhasilan mereka ternyata bukanlah kondisi geografis yang tipis oksigen, bukan pula pola makan. Tetapi, yang lebih menentukan adalah efisiensi gerakan sebagai hasil latihan dan pola kehidupan sehari-hari.

Ini bisa dijelaskan baik dari segi motorik maupun fisiologis. Dengan pola kebiasaan dari kegiatan sehari-hari yang umumnya berisi kegiatan berlari, telah terjadi mekanisme adaptasi tubuh yang luar biasa di dalam pemrograman gerak dan metabolisme pengolahan energinya, sehingga tercapai efisiensi gerak yang sangat tinggi. Perubahan itu hanya bisa terjadi dari kegiatan yang sangat intensif, yang dilakukan sejak atlet masih kanak-kanak.

Lingkungan alam dan kebiasaan makan hanyalah penunjang, dan pada satu segi malah dapat menghambat. Hambatan inilah yang tidak disadari para pelatih kita, sehingga bibit-bibit atlet yang telah terbina alam-misalnya di bumi padang rumput Sumbawa, atau pegunungan Irian-malah hancur oleh perubahan lingkungan yang terjadi sangat tiba-tiba, ketika para atlet diboyong ke pelatnas di Jakarta. Jelas saja, para atlet mengalami kejut budaya dan pola hidup, karena tercerabut dari lingkungan hidupnya sehari-hari.

Sampai beberapa dekade ke depan, atau malah sampai kapan pun, atlet-atlet Indonesia tidak akan mampu menembus barikade keunggulan teknis atlet-atlet kelas dunia. Alasannya, atlet kita lebih sering memelihara kelemahan mendasar dalam penguasaan teknik. Ketika harus bertarung dengan atlet lain yang tekniknya sempurna, serta merta kita langsung kalah.

Mengapa atlet kita tidak bisa menguasai teknik yang sempurna? Barangkali kita harus merunut ke belakang sistem keolahragaan kita yang belum memungkinkan semua insan olahraga maju bersama-sama. Kita belum memiliki sistem keolahragaan yang jelas, baik sistem secara umum untuk seluruh cabang, maupun sistem khusus yang berlaku bagi satu cabang. Implikasinya, atlet kita lebih sering maju sendirian ke tingkat yang lebih tinggi, tetapi pelatihnya ketinggalan di belakang. Artinya, banyak atlet Indonesia yang potensial tidak mampu berkembang lagi karena keterbatasan kemampuan pelatih. Akibat lanjutannya, kematangan atau kesempurnaan teknik atlet kita selalu kalah kualitas dibandingkan lawan.

***

KUALITAS pelatih kita tidak pernah maju karena ketiadaan sistem keolahragaan di Indonesia telah menyebabkan belum terpetakannya secara jelas profil kemampuan pelatih beserta jenjang kariernya. Ketika seorang pelatih dipilih, tidak ada kriteria yang jelas tentang tingkat dan kemampuan apa yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur. Tidak jelas pula jalur karier seorang pelatih yang ingin meningkatkan tingkat kualifikasi atau kemampuannya. Jika bukan karena kegigihannya sendiri, kemampuan pelatih kita lebih sering mentok di satu tingkat saja.

Oleh sebab itu, kemampuan pelatih kita tidak pernah terasah dalam memadukan prinsip biomekanika yang melandasi pelaksanaan teknik gerakan dalam tataran praktiknya. Padahal, pemahaman yang baik pada prinsip mekanik serta hukum-hukum alam yang mempengaruhi gerak, merupakan syarat utama bagi kesempurnaan teknik. Kelemahan dalam hal satu ini bukan saja terlihat pada saat menangani tim elite nasional kita, melainkan terjadi pula pada pembinaan di tingkat pemula.

Komentar pelatih asing pada penampilan atlet kita selalu sama dari waktu ke waktu, yaitu penerapan teknik dasarnya(basic technique) salah sehingga memerlukan banyak waktu untuk mengoreksinya. Kelemahan lain pelatih ialah dalam memahami prinsip-prinsip pelatihan dan mengutak-atik metode serta teknik yang ada. Mereka tidak kreatif mencari cara baru. Mereka tak memiliki kemampuan produksi, lebih suka mereproduksi atau meniru sesuatu yang memang sudah ada.

Mungkin asumsi ini bisa dipatahkan dengan mengajukan kasus bulu tangkis yang berhasil dalam tiga olimpiade, padahal bulu tangkis berada dalam kelompok cabang yang tidak sederhana. Ini juga tidak benar, karena bulu tangkis posisinya berada di antara kedua kelompok yang disebut di atas. Dalam arti itu, kita dapat mengatakan kompleksitas teknik bulu tangkis tidak serumit cabang permainan lain, misalnya tenis atau sepak bola.

Selain itu, satu hal yang paling menentukan keunggulan bulu tangkis kita adalah fanatisme masyarakat terhadap permainan itu sendiri. Bulu tangkis seolah-olah sudah menjadi permainan milik kita sendiri sehingga sama dengan budaya kita. Kepekatan nuansa budaya ini yang telah membuat para pemain Indonesia mencapai efisiensi gerak dan gaya yang khas Indonesia, sehingga unggul dari lawan.

Kasus kita di bulu tangkis sama seperti Pakistan di cabang hoki, Korsel di taekwondo, atau Rumania dan Rusia di senam. Bedanya, cabang favorit di negara-negara lain terus digali secara ilmiah dan kultural, serta dana yang memadai. Sementara, pembinaan bulu tangkis di Indonesia berkembang lebih secara alamiah. Oleh karena itu, kita boleh ragu bahwa pada olimpiade mendatang, bulu tangkis masih bisa diandalkan untuk menyumbang emas. Di Sydney, hanya satu dari lima emas yang diperoleh.

Kelemahan paling mendasar keolahragaan kita adalah iklim kompetisi yang tidak terarah dan tidak teratur. Dari segi ini, kita bisa mendeteksi betapa tidak seimbangnya kemampuan atlet kita dalam hal teknik dibandingkan kemampuan mentalnya. Atlet kita sering sudah menyerah sebelum berlaga, mencerminkan kelemahan mental bertanding yang memang tidak terasah secara terarah, baik saat latihan maupun saat pertandingan.

Tentu masih banyak kelemahan keolahragaan kita, tetapi yang mencolok adalah mental para pengurus Orde Baru. Budaya instant adalah yang paling mendesak untuk dikikis, sehingga pengurus sadar tidak ada gunanya bergulat dengan program-program instant untuk meraih medali atau juara umum, hanya karena ingin dianggap berjasa.

Yang terlebih penting adalah mendorong dan kalau perlu mendanai, upaya penciptaan sistem dari setiap cabang olahraga, walaupun hasilnya baru bisa terlihat satu generasi mendatang. Inilah yang sekarang mulai disadari Malaysia yang mensponsori penciptaan sistem bagi beberapa cabang strategis.

* Agus Mahendra MA, dosen FPOK-UPI